Minggu, 13 Oktober 2013

Artikel Kalimat Kata Baku dan Tak Baku


Istilah kalimat baku muncul seiring dengan mulai diperkenalkannya jargon “berbahasa Indonesia yang baik dan benar”. Jargon itu sudah cukup membuat banyak orang gemetar sehingga memaksanya menanggalkan niatnya untuk bergelut dengan dunia tulis-menulis. Namun, ada juga yang justru melakukan penentangannya, seperti Gerakan Menulis Unkonvesionil yang  digagas mantan tokoh LSM, Martin Siregar, sebab dianggapnya sebagai penghambat potensi seseorang untuk menulis. Kata mereka, “Jika punya niat hendak menulis, ya, tinggal menulis saja jangan pikirkan soal ejaan dan kebakuan.” Saya sering bersetuju dengan pendapat itu, tapi saya juga sering berseberangan sebab saya sering temukan justru ketidaksukaan terhadap jargon itu biasanya didasarkan atas pemahaman yang kurang tepat terhadap arti bahasa yang baik dan bahasa yang benar (kata Indonesianya sengaja saya hilangkan).

Baiklah, kita lupakan itu dahulu. Selanjutnya, saya akan mencoba mengupas kalimat baku.
Pertama, kalimat baku berbeda dengan kata baku. Namun, pada kalimat baku harus diisi oleh kata-kata baku. Untuk mengetahui kebakuan sebuah kata, kita memerlukan bantuan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV Pusat Bahasa. Sesekali cobalah berseluncur dalam kamus, kita akan tercengang bahwa kata yang selama ini kita anggap benar sering di KBBI dianggap tidak baku, atau juga sebaliknya. Kata contek ternyata tidak baku, yang bakunya adalah sontek sehingga jika diberi awalan me-, bukan mencontek, melainkan menyontek.  Demikian juga dengan kata stop ternyata bentuk bakunya adalah setop.

Kedua, kemampuan menulis kalimat baku adalah sebuah keterampilan tertinggi dalam menulis (kalimat) yang di dalamnya memadukan pengetahuan tentang struktur kalimat, bentukan kata, makna kata, dan ejaan. Sebetulnya, di kalangan akademik, berdasarkan pada buku yang diterbitkan, dikenal juga istilah kalimat efektif. Saya pribadi menganggap istilah kalimat efektif lebih tepat dibandingkan dengan kalimat baku mengingat belum ada kajian secara khusus tentang kalimat baku.
Kalimat baku tidak berarti kalimat itu harus panjang. Sebuah kalimat pendek pun bisa disebut kalimat baku jika memenuhi kriteria. Kalimat di bawah ini:

(1) Kakak pergi.

Kalimat (1) di atas sangat pendek, tetapi sangat baku.

(2) Dari data yang ada menunjukkan bahwa kenaikan BBM itu cukup memberatkan rakyat kecil.

Kalimat (2) di atas cukup panjang, tetapi tidak baku disebabkan kalimat tersebut tidak memiliki subjek. Bagian Dari data yang ada bukan subjek, tetapi keterangan.

Jadi, panjang atau pendek sebuah kalimat bukan ukuran menentukan kebakuannya.

Ketiga, dalam menulis fiksi, terutama pada bagian dialog, sangatlah sulit mempertahankan kebakuan kalimat. Dialog sering tampil dalam bentuk kalimat minor atau kalimat elips, yaitu kalimat-kalimat pendek yang bisa saja terdiri atas sebuah kata sehingga tidak hadir subjek-predikatnya.

(3) “Pergi!”

Kalimat (3) adalah kalimat minor, di mana dalam kalimat itu hanya terdapat predikatnya. Kalimat itu tentu saja sangat-sangat boleh dipakai dalam dialog sebuah cerita fiksi.

Keempat, selain soal struktur, kalimat baku berkaitan pula dengan kehematan dan kelogisan. Kehematan berarti dalam satu kalimat tersebut tidak terdapat dua atau lebih kata yang mengandung makna yang sama. Adapun kelogisan dimaknai bahwa kalimat itu harus menyampaikan sesuatu yang masuk akal.

(4) Para hadirin saling dorong-mendorong .

Kalimat (4) adalah kalimat yang tidak hemat sebab pada kalimat itu kita dapati penggabungan para dan hadirin yang jelas menunjukkan kejamakan, lalu kita temukan juga bentuk saling dengan dorong-mendorong yang bermakna ‘berbalasan’.

(5) Bagi yang membawa handphone harap dimatikan!

Kalimat (5) adalah kalimat yang tidak logis–meskipun sangat komunikatif–sebab menyuruh membunuh orang yang membawa handphone. Mungkin seharusnya

(6) Yang membawa handphone harap mematikan handphone-nya.

Kelima, sekali lagi jika Anda penulis fiksi janganlah Anda memikirkan kalimat Anda harus baku. Tulislah apa yang ingin Anda ceritakan tanpa ragu sedikit pun, biarkan saja soal struktur, tata bahasa, bahkan ejaan untuk sementara waktu. Setelah selesai, barulah Anda lakukan pengeditan. Ragu soal pengeditannya, ayo kita diskusi dan sama-sama belajar.

Suatu hal yang paling mudah dilakukan ketika menulis adalah menuliskan tentang diri sendiri atau pengalaman pribadi. Beberapa teman saya mungkin akan memandang bahwa saya terlalu melankolis ketika menuliskan beberapa kisah sedih dalam beberapa catatan, tetapi bukankah itu sebuah bentuk kreatifitas?   Saya bahkan tidak pernah berpikir sebelumnya akan menampilkan tulisan saya untuk dibaca publik, tetapi ketika tulisan-tulisan itu dibaca maka saya merasakan kelegaan.

Menulis mungkin suatu sarana yang tepat untuk pengungkapan perasaan, atau saya pernah menyebutnya sebagai “selemah-lemahnya usaha untuk membuang masalah”.   Yang terjadi kemudian adalah bahwa secara tidak sadar saya telah menggunakan kaidah Bahasa Indonesia baku dalam tulisan-tulisan tersebut. Saya merubah kata ganti orang pertama dengan sebutan “saya” bukan “aku” dalam tulisan-tulisan tersebut, saya hanya berusaha untuk lebih sopan.

Saya tidak berpikir terlalu banyak ketika ada beberapa teman yang mengatakan bahwa saya berbicara (melalui tulisan-tulisan itu) dengan terlalu baku, terlalu formal, sesuai EYD atau apapun, mungkin menurut mereka seharusnya saya menggunakan kata-kata gaul atau apapun itu istilahnya. Tetapi, bagi saya semua itu saya lakukan agar sopan dalam mengungkapkan sesuatu.

Lalu apakah penggunaan Bahasa Indonesia baku hanya untuk menuliskan tentang catatan-catatan seperti itu atau semacamnya? Bagaimana mungkin saya menggunakan bahasa ‘alay’ dalam menuliskan hal-hal tersebut, karena jelas saya tidak mempunyai kosakata yang cukup untuk memahaminya.

Saya berusaha merangkai kalimat-kalimat dengan seksama agar mereka mampu menangkap maksud seperti yang saya harapkan, namun sejauh apapun ekspektasi saya agar mereka mampu menangkap maksud yang saya harapkan terkadang pada kenyataannya tidak semua orang mengerti dengan apa yang saya harapkan.

Bahwa ‘bahasa’ yang paling banyak dipergunakan dalam komunikasi jelas karena hanya bahasalah yang mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain (Effendy,2004:11).   Bahasa ‘alay’ , bahasa ‘gaul’ atau bahasa tidak baku mungkin telah menggerus atau menyingkirkan penggunaan bahasa Indonesia baku oleh remaja dan anak muda, namun apakah mereka juga akan tetap memakai bahasa yang tidak baku itu dalam tugas-tugas kuliahnya?  Jika mereka terbiasa menuliskan kata-kata baku dalam tugas kuliahnya seharusnya mereka tidak perlu heran mengapa saya selalu menggunakan kata-kata baku dalam tulisan-tulisan atau percakapan-percakapan tersebut.

Di bawah ini saya berhasil mengumpulkan beberapa kata, kalimat atau istilah dalam Bahasa Indonesia, yang sering ditulis maupun dibaca dengan salah oleh teman-teman kompasianer. Kiranya bermanfaat dan sebisa mungkin saya selalu memperbarui atau menambah.

baku
tak baku


(di)proklamasi(kan)
(di)proklamir(kan)
acuh (peduli)
tak acuh
Agustus
Augustus
aktif
aktiv
aktivis
aktifis
aktivitas
aktifitas
analisis
analisa
anarkis (pelaku tindakan anarki), anarki (kekacauan)
anarkistis
anarkistis (bersifat anarki)

Anda (sealu diawali huruf kapital)
anda
antar~
antar ~
antarbangsa (internasional)
antar bangsa
antardaerah
antar daerah
antarkota
antar kota
antarkota antarpropinsi
antar kota antar propinsi (AKAP)
antarnegara
antar negara
antarpropinsi
antar propinsi
anti~ (antikorupsi)
anti ~ (anti korupsi)
antre
antri
apotek
apotik

DAFTAR PUSAKA :
1.http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/09/27/sedikit-mengupas-kalimat baku-595577.html.
2. http://bahasa.kompasiana.com/2012/01/31/yang-baku-dan-tak-baku-434966.html
3.  http://bahasa.kompasiana.com/2012/09/05/saya-menggunakan-bahasa-baku-491111.html














































Tidak ada komentar:

Posting Komentar